Peristiwa
ini terjadi pada 1941. Di kota Qina di wilayah Sha’id, diselenggarakan acara
penyambutan kedatangan Hasan Al Banna yang baru saja dipindahkan Dewan Tinggi
Militer ke sana. Para pemuda pramuka yang menyelenggarakan acara tersebut
sangat terkejut saat Hasan Al Banna, sambil bersalaman dengan hangat, menyebut
nama-nama mereka dengan tepat; seperti orang yang telah kenal sebelumnya.
Mungkin jika yang bertemu dengan Hasan Al Banna itu orang-orang yang percaya
mitos seperti layaknya kejawen, mereka akan menganggap Hasan Al Banna
memiliki ilmu laduni. Tapi ini para pemuda Mesir yang rasional dan telah
tersentuh pembinaan Islam. Sebagian dari mereka pun kemudian bertanya bagaimana
Hasan Al Banna tahu nama-nama mereka.
“Ketika saya menandatangani kartu anggota pramuka,” kata Hasan Al Banna
mengungkap rahasianya, “saya menghafal nama yang tertera dan raut wajahnya.”
Subhaanallah… ada dua hal yang luar biasa di sini. Pertama, kesungguhan Hasan
Al Banna dalam dakwah hingga menghafal nama dan raut wajah dalam kartu anggota
pramuka. Kedua, kejeniusan Hasan Al Banna dalam menghafalkan nama yang hanya
butuh waktu sekilas saja. Dua hal luar biasa, namun cukup satu penjelasannya;
karena bagi Hasan Al Banna, dakwah adalah cinta.
“Hasan Al Banna adalah legenda dakwah yang melahirkan kebangkitan Islam
modern,” tulis Anis Matta dalam Serial Cinta, “tafsirnya: ia lebih
mencintai dakwahnya di atas segalanya.”
Ketika dakwah dimaknai sebagai cinta, maka segala potensi dan kemampuan akan
dikerahkan untuk keberhasilannya. Ketika dakwah diartikan sebagai cinta, maka
segala langkah dan upaya akan ditempuh untuk kemenangannya.
“Dakwah adalah cinta,” kata Rahmat Abdullah, “dan cinta akan meminta semuanya
darimu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah
lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.”
Salah satu peristiwa yang membuktikan Hasan Al Banna sangat mencintai dakwahnya
adalah ketika pada suatu hari anaknya sakit. Demam. Demam yang sangat. Padahal
saat itu ia ada tugas dakwah yang mengharuskan keluar rumah.
“Haruskah kau pergi padahal anak kita demamnya sangat tinggi,” Istri Sang Imam
itu bertanya saat dipamiti.
“Kalau aku tidak pergi, apakah anak kita menjadi sembuh?” Hasan Al Banna balik
bertanya.
“Tidak,” kata sang Istri, “Tapi bagaimana jika ia meninggal?”
“Kakeknya lebih tahu bagaimana cara memandikan dan mengkafaninya.”
Allaahu akbar. Adakah cinta kita terhadap dakwah sampai pada level ini?
Ketika dakwah adalah cinta, maka ia pun meningkatkan kekuatan tekad dan
perjuangan dai untuk menggapai cintanya. Ketika dakwah itu cinta, maka ia pun
mengubah sisi takut menjadi pemberani, mengubah kelemahan jadi kekuatan, dan
melipat gandakan kecerdasan.
Jika cinta kepada lawan jenis saja mampu mengubah manusia menjadi kreatif,
cerdas dan berdaya secara ekonomi serta berani menanggung resiko dan
tanggungjawab, cinta dakwah akan membawa efek yang sama, bahkan lebih besar
dari itu semua.
Tidakkah kau tertarik mengubah paradigma dakwah sebagai cinta? Cintailah dakwah
dan cintailah umat yang kau dakwahi, lalu perhatikan apa yang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar