Otoritas Wahyu


Sebuah kata selamanya berhajat kepada kata lain untuk terang. Kata mental bersifat netral. Tapi ketika sifat block hadir dia menjadi negatif. Disinilah kemudian kolam sejarah menoreh peperangan pendapat dan gagasan yang bertarung abadi. Block karena apa ? Will to power ala Nietzche? Survival instinct ala Darwin? Uncounciousness state ala Freud ? Khathrah ala Al Ghazali ? Ghiyabul hubb ala Rumi dan Adawiyah ? Disitu cerita dan peristiwa kadang berkelindan kadang juga berjarak.

Pernah ada seorang sastrawan terkemuka mengusulkan seorang pelacur dari Tulung Agung tahun 2008 agar dinobatkan sebagai Ibu Indonesia. Ibu itu janda lalu jadi pelacur karena disia-siakan suaminya. Untuk menafkahi 5 org anaknya dari pagi sampai siang hari ia berlaku buruh pemecah batu dengan upah 400 ribu per bulan dan malam hari sebagai penyewa kelamin dengan tarif 30 ribu per transaksi. Memang klise tapi tetap saja ramai sahutannya. Ada yang protes. Bahkan lebih banyak yang marah. Kenapa harus ibu dengan profesi seperti itu dinobatkan ? Kenapa bukan istri pemulung yg ngais-ngais rejeki di tempat bau tapi emoh jadi pelacur ? Kenapa bukan istri penyair yang komit dengan kesuciannya meski melayani seorang lelaki luntang-lantung menjajakan bahasa awan dan langit dengan resiko dapur kering dari asap dan bumbu masak ? Kenapa dan kenapa?

Disini terma mental block dicurigai karena memonopoli opini dan tak memberi ruang baca bagi pihak lain. Padahal teori psikologi apapun hampir bersabda seragam bahwa kehadiran mental block selamanya didahului oleh sentuhan peristiwa menyedihkan dan traumatik lalu berinkubasi dalam struktur kejiwaan manusia dan selanjutnya mudah ditebak: dialah maharaja pengendali atas cara berpikir dan berlaku kita. Mungkin disitu hebatnya otoritas wahyu; dia hadir tanpa intervensi lingkungan, tanpa sayatan keperihan sejarah, tanpa dialog dan bisik bisik pendahuluan; dia hadir dengan bunyi dan palu hakim sekaligus..!!!

Ust. Suryadarma.
https://www.facebook.com/surya.darma.731135

0 komentar:

Posting Komentar