WHAT'S NEW?
Loading...

Hotel, Telepon dan Uhud


Alhamdulillah pagi ini aku membersamai anak anak SD olahraga setelah shalat subuh di pelataran depan ruang kelas. Tak lama terdengarlah lagu "Islam Cinta Keadilan" menyemarakkan suasana cerah kami. Lamat lamat ada perasaan sentimentil menyeruak dalam perasaanku kala mendengar lagu "jadul" itu. Lagu itu lahir bersama dengan kelahiran Partai Keadilan tahun 1998. Lagu itu juga melempar ingatanku kepada sekian mozaik manis menggelikan suasana kejiwaan yang ada saat itu. Salah satunya adalah kebiasaan memakai hotel untuk perhelatan acara partai.

Saat itu memakai hotel untuk sebuah acara benar benar membuat kikuk. Terlihat jelas pada saat acara digelar, banyak peserta memuaskan dulu penglihatannya memelototi bangunan hotel beserta perabot dan asesoris yang ada di dalamnya. Pernah ada seorang akh membuat "catatan peradaban" yang mungkin bisa disebut premature paradigma shift saat menghuni kamar hotel. Akh itu rupanya tertarik dengan benda bernama telepon dalam hotel. Maka mulailah ia memencet nomor telepon dan tak lama kemudian raut heran menampak di wajahnya. Ia menatap gagang telepon yang ada di tangannya cukup lama lalu bicara kembali dengan lawan bicaranya. Tapi sekali lagi ia menampakkan rasa heran dan setelah itu ia menutup telepon kamar. Teman sekamarnya saat itu membiarkan saja kejadian berlalu begitu saja. Tidak ada yang istimewa koq, mungkin itu yang ada dalam benaknya. Tapi ketika waktu check out dari hotel tiba barulah beberapa ikhwah sadar bahwa kejadian itu bukan sesuatu yang biasa. Bagian front office rupanya menyodorkan tagihan atas kamar itu untuk pemakaian telepon ke luar negeri ! Untuk jaman itu, nominal tagihannya sangat besar. "Akhi koq bisa begini tagihannya ? Antum ngapain aja di kamar ? " tanya akh yang akan bayar. Akh penelpon itu menjawab, "Ana hanya mencoba pakai telepon tapi saya tidak tahu kalau itu nyambung ke Rusia..! "

Kini "main hotel" bagi ikhwah dan akhwat bukanlah hal baru yang kadang mengambil porsi diskusi cukup lama seperti waktu itu. Hampir semua kegiatan mengambil hotel sebagai tempat perhelatan. Boleh jadi karena itu efisien, praktis, nyaman dan mungkin juga sudah ramah untuk ukuran kantong ikhwah. Kini sudah sangat jarang kita mendengar cerita konyol dan kisah lucu seperti itu yang mungkin nyindir tentang kelakuan peradaban kita yang out of box seperti dulu. Hotel bukan lagi situs mendebarkan dan taman yang kadang membuat kita kikuk dan merasa terlempar ke dunia lain. Ia tak lebih bangunan lain yang kerap kita kunjungi untuk beragam maksud. Dan memang "al ulfah taqtulul hassasiyah," rutinitas itu melumpuhkan kepekaan, demikian Syaikh Malik Badri, guru besar Psikologi dari Sudan, murobbi kita semua, mengingatkan kita dalam bukunya "At Tafakkur minal musyahadah ilas Syuhud.." Jadi kalau ikhwah mau kembali mereguk manisnya beracara mungkin "adat berhotel" perlu dipertimbangkan. Sebab yakinlah, pada setiap inci makhluk Allah, baik yang bergerak maupun diam, ada semesta unik yang menawarkan mukjizat dan pengalaman rohani berbeda. Nabi saw pernah berdendang, "Gunung Uhud itu cinta kepada kita dan kita cinta kepadanya.."

Ust. Suryadarma
https://www.facebook.com/surya.darma.731135/posts/941198749300146

0 komentar:

Posting Komentar